Cari Blog Ini

Sabtu, 28 April 2012

makalah bahasa dalam konteks sosial (peristiwa tutur dan tindak tutur)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa merupakan salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk- makhluk yang lain. Dari dulu di sadari bahwa bahasa adalah kunci utama pengetahuan, memegang kunci utama berarti memegang kunci jendela dunia. Sebab sejuta pengetahuan, seribu peradaban semuanya tercipta dan terbahasakan, bahkan sejarah tidak akan terwujud jika tidak ada bahasa didunia . begitu juga dengan sosiolingistik yang merupakan studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat, maka kami merasa sangat penting membahas bahasa dalam konteks sosial. Karena kita ketahui bahwa, ada dua aspek yang mendasar dalam pengertian masyarakat. Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek yang kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup bersama karena ada suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku mereka, ter masuk tindak laku berbahasa.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana bahasa dalam konteks social ?
2.      Apa peristiwa tutur dan tindak tutur ?
3.      Apa yang dimaksud Tindak tutur dan pragmatik ?
C.    TUJUAN
1.      Ingin mengetahui bahasa dalam konteks sosial
2.      Ingin mengetahui peristiwa tutur dan tindak tutur
3.      Ingin mengetahui Tindak tutur dan pragmatik
BAB II
A.    Bahasa Dalam Konteks Sosial (Peristiwa Tutur Dan Tindak Tutur )
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya. 
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung kaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat. Antropologi bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Konteks sosial bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran - kan yang dilafalkan - ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.[1] 
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling. 
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
v  Kelas Menengah Tinggi (KMT)
v  Kelas Menengah Atas (KMA)
tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
a)      Aspek linguistic.
b)      Aspek nonlinguistik atau paralinguistik.
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.[2]
Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur supra segimental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi, Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, rabaan dan sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).
B.     Peristiwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan situasi tertentu.[3]
Dell Hymes mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang dikenal dengan speaking. Kedelapan komponen tersebut adalah:
1)    S (Setting and Scene) : Waktu,tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2)    P (Participants) : pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.
2)  E (End : purupose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa yang terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.
3)     A (Act Sequences) :Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan
4)    K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana  suatu pesan disampaikan
5)        I  (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
6)     N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
7)     G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.[4]
C.       Tindak tutur.
Tindak tutur atau tindak ujar adalah aktivitas menuturkan atau mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu (Rustono 1999: 33). Tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur, percakapan, prinsip kerja sama, prinsip kesatuan, dsb.
 Tindak Tutur Berdasarkan Tujuan Penuturannya
Menurur Austin (1962) dalam Wijana (1996: 23) dan Rustono (1999: 34) tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan performatif.
 Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia (Gunawan 1994: 43).
Contoh :
   “Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”
  “Dakka ibu kota Bangladesh.”
Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan intuk melakukan sesuatu (Wijana 1996: 23).
Contoh :
§  “Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam ini.”
§  “Saya berjanji akan datang besok.”
Murid Austin, Searle mengembangkan dua jenis tuturan itu ke dalam tiga jenis tindak tutur. Menurut Searle (1983) dalam Rahardi (2003: 72) dan Wijana (1996: 17-20), tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu.
Contoh :
·      ”Dia kebingungan.”
·       “Saya sakit.”
·       “Bajunya basah.”
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan atau tindak tutur yang ditujukan untuk memberikan efek atau pengaruh kepada lawan tutur. 
Contoh :
·      “Ban motor saya bocor.”
·       “Di bus itu banyak copet yang biasanya menyamar menjadi pengamen.”
Tindak tutur perlokusi adalah efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu bahasa. Austin (1962: 101). Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur, inilah yang merupakan tindak perlokusi.
Contoh
·      “Pukul saja!”
·       “Ada rampok!”
Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi 2003: 72-75 dan rustono 1999: 39-43) mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur representatif, direktif yang disebut juga dengan tindak tutur impositif, ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur evaluative, komisif, dan isbati yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.
A.Tindak tutur Asertif atau Representatif.
 adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya. 
Contoh :
 “Sebentar lagi rumah itu ambruk terkena angin.”
“Yang datang rapat baru 26 orang.” 
B.Tindak tutur Direktif atau Impositif
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Contoh :
• “Tolong tutup pintunya!”
• “Lebih baik kamu masuk saja.”
• “Berikan data itu sekarang!” 
C.Tindak tutur Ekspresif / Evaluatif
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Contoh :
• “Pekerjaanmu kurang memuaskan.”
• “Suaramu bagus sekali.”
D.Tindak tutur Komisif 
adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya.
Contoh :
• ”Besok saya akan tiba tepat waktu.”
• “Saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh.” 
E.Tindak tutur Isbati / Deklarasi
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Contoh :
• “Jangan membuat tugas sembarangan!”
 “Dia tidak jadi pergi hari ini.”[5]
D.     Tindak Tutur Dan Pragmatik
Definisi Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut penekanan ditambahkan.
Tindak tutur merupakan slah satu fenomena yang menjadi kajian dalam pragmatik. Kajian lain dalam pragmatik adalah deiksis, preposisi dan implikatur.
pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Dapat juga dikatakan bahwa makna yang ditelaah semantik adalah makna yang bebas konteks, sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Sebauh tuturan dapat dipahai dengan baik apa bila deiksisnya jelas, preposisinya diketahui, dan implikatur percakanpannya dipahami.
Menurut Yule (1996:3) definisi pragmatik yaitu:
1)      Bidang yang mengkaji makna pembicara
2)      Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya
3)      Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan,
 mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunukasikan oleh pembicara Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Tindak tutur ( speech art ) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh beberapa disiplin ilmu.
Menurut Chaer (2004 : 16) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.[6]
J.L.Austin (dalam A. H. Hasan Lubis, 1991: 9) menyatakan bahwa secara pragmatis, setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur dalam melakukan tindak tutur yakni:
1)      tindak tutur lokusi,
2)       tindak tutur ilokusi,
3)       dan tindak tutur  perlokusi
Masuknya pragmatik dalam linguistik merupakan tahap akhir dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah ilmu sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang luas yang meliputi bentuk, makna dalam konteks. Tetapi, ini tahap perkembangan jalur utama aliran linguistik di belahan Amerika. Pada 1940-an di belahan Eropa sudah berkembang kegiatan mengkaji bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (aliran praha, aliran firth) dan pada tahun 1960-an Halliday megembangkan teori sosial mengenai bahasa.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu:
ü kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence). yang berkaitan  dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu,
ü  kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik,
ü dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
BAB III
KESIMPULAN
A.     Bahasa Dalam Konteks Sosial (Peristiwa Tutur Dan Tindak Tutur )
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung kaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat.
Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Konteks sosial bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya.